Kamis, 28 Oktober 2010

Mengapa Orang Yahudi Dan Nasrani Mengubah Kitab Perjanjian Lama Tentang Nabi Ibrahim as.?


Perjanjian Lama dan Al Quran tampaknya hampir-hampir meng-gambarkan dua orang sosok nabi yang berbeda, bernama Abraham dan Ibrahim. Dalam Al Quran, Ibrahim diutus sebagai rasul bagi suatu kaum penyembah berhala. Kaum Ibrahim menyembah langit, bintang-bintang dan bulan, serta berbagai berhala. Dia berjuang melawan kaumnya, men-coba membuat mereka meninggalkan kepercayaan-kepercayaan takhyul, dan tidak terhindarkan, membangkitkan permusuhan dari seluruh ka-umnya, termasuk ayahnya sendiri.
Ternyata, tidak ada satu pun dari hal di atas diceritakan dalam Per-janjian Lama. Dilemparkannya Ibrahim ke dalam api, penghancuran ber-hala-berhala kaumnya, tidak disebutkan dalam Perjanjian Lama. Secara umum Ibrahim digambarkan sebagai nenek moyang bangsa Yahudi da-lam Perjanjian Lama. Nyatalah bahwa pandangan dalam Perjanjian Lama ini dibuat oleh para pemimpin bangsa Yahudi yang berusaha mengang-kat konsep “ras” ke permukaan. Bangsa Yahudi percaya bahwa mereka adalah kaum yang dipilih Tuhan untuk selama-nya dan diberi keunggul-an. Mereka dengan sengaja dan penuh hasrat mengubah kitab suci me-reka dan membuat berbagai penambahan serta pengurangan berdasar-kan keyakinan ini. Inilah sebabnya mengapa Ibrahim digambarkan sebagai nenek moyang bangsa Yahudi belaka dalam Perjanjian Lama.
Orang Nasrani yang mempercayai Perjanjian Lama, menganggap Ibrahim sebagai nenek moyang bangsa Yahudi, namun dengan satu per-bedaan: Menurut mereka, Ibrahim bukanlah seorang Yahudi melainkan seorang Nasrani. Orang Nasrani yang tidak begitu memperhatikan kon-sep ras sebagaimana Yahudi, mempertahankan pandangan ini dan hal tersebut menjadi salah satu penyebab perbedaan dan pertentangan di antara kedua agama ini. Allah memberi penjelasan atas perdebatan terse-but dalam Al Quran sebagai berikut :

“Hai ahli kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibra-him, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?
Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah dalam hal yang tidak kamu ketahui; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang yang musyrik.
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran , 3: 65-68) !

Dalam Al Quran, sangat berbeda dengan yang ditulis dalam Per-janjian Lama, Ibrahim adalah seseorang yang memperingatkan kaumnya agar mereka takut kepada Allah, serta berjuang melawan mereka karena itu. Sejak masa mudanya, ia memperingatkan kaumnya yang menyem-bah berhala-berhala, agar menghentikan perbuatan itu. Sebagai balasan, mereka berupaya membunuh Ibrahim. Setelah terhindar dari kejahatan kaumnya, maka Ibrahim akhirnya berimigrasi.

Pada masa Nabi Ibrahim, agama politheisme menyebar di wilayah Mesopotamia. Sang Dewa Bulan "Sin", merupakan salah satu berhala yang paling penting. Orang-orang membuat patung dari tuhan-tuhan mereka dan menyembahnya. Di atas tampak patung Sin. Bentuk bulan sabit terlihat jelas pada dada patung tersebut.

Zigurat, yang digunakan baik sebagai kuil atau tempat pengamatan bintang, merupakan bangunan yang dibuat dengan teknik paling maju pada masa itu. Bintang, bulan, dan matahari menjadi objek utama penyembahan, dan karenanya, langit merupakan hal sangat penting. Di sebelah kiri dan bawah adalah zigurat utama bangsa Mesopotamia.


TERDAPAT KEMUDAHAN DALAM KESULITAN


Allah menciptakan dunia sebagai ujian bagi manusia. Sebagaimana sifat ujian itu sendiri, terkadang Dia menguji manusia dengan kesenangan, terkadang dengan pende­ritaan. Orang-orang yang menilai berbagai peristiwa tidak berdasarkan al-Qur’an tidak mampu menafsirkan secara tepat ber­bagai peristiwa tersebut, kemudian men­jadi ber­sedih hati dan kehilangan harapan. Pada­hal Allah mengungkapkan rahasia penting dalam al-Qur’an yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang benar-benar beriman. Rahasia tersebut dijelaskan sebagai berikut:

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.s. asy-Syarh: 5-6).

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat ini, apa pun bentuk penderitaan yang dialami seseorang atau bagaimanapun situasi yang dihadapi, Allah menciptakan sebuah jalan keluar dan memberikan kemu­dahan kepada orang-orang yang beriman. Se­sungguhnya, orang yang beriman akan me­nyaksikan bahwa Allah memberikan kemu­dahan di dalam semua kesulitan jika ia tetap istiqamah dalam kesabarannya. Dalam ayat lainnya, Allah telah memberi kabar gembira berupa petunjuk dan rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya:

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan bagi­nya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.” (Q.s. ath-Thalaq: 2-3).


1.      Allah Tidak Membebani Seseorang di Luar Kemampuannya

Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penya­yang, dan Mahaadil, menjadikan kemudahan dalam segala sesuatu dan menguji manusia sesuai dengan batas-batas kekuatan mereka. Shalat yang diperintahkan Allah untuk diker­jakan manusia, kesulitan-kesulitan yang Dia ciptakan untuk mengujinya, tanggung jawab yang Dia bebankan kepada manusia, semua­nya sesuai dengan kemampuan seseorang. Ini merupakan kabar gembira dan menent­ramkan bagi orang-orang beriman, dan meru­pa­kan wujud dari kasih sayang dan kemurah­an Allah. Allah menceritakan rahasia ini dalam beberapa ayat sebagai berikut:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih ber­man­faat, hingga sampai ia dewasa. Dan sem­purnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesang­gupan­nya. Dan apabila kamu berkata, maka hen­daklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepa­da­mu agar kamu ingat.” (Q.s. al-An‘am: 152).
“Dan orang-orang yang beriman dan me­nger­jakan amal saleh, Kami tidak memikul­kan kewajiban kepada diri seseorang melain­kan sekadar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Q.s. al-A‘raf: 42).

“Kami tidak membebani seseorang melain­kan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (Q.s. al-Mu’minun: 62).


2.      Hidup Menjadi Mudah dengan  Menja­lankan Agama Allah

Sebagian besar manusia beranggapan bahwa agama menjadikan hidup mereka sulit dan mereka dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang berat. Sesungguhnya ini meru­pakan anggapan sesat yang dibisikkan oleh Setan kepada manusia agar mereka ter­sesat. Sebagaimana telah disebutkan ter­dahulu, agama itu mudah. Allah menyata­kan bahwa Dia akan memberikan kemudahan kepada orang-orang beriman setelah mereka menghadapi kesulitan. Di samping itu, ajaran agama seperti bertawakal kepada Allah dan meyakini takdir juga dapat menghilangkan semua beban, kesulitan, dan penyebab pende­ritaan dan duka cita. Bagi seseorang yang hidup dengan agama Allah, tidak ada pende­rita­an, duka cita, atau putus asa. Dalam bebe­rapa ayat, Allah menjanjikan akan menolong orang-orang yang berserah diri kepada-Nya dan orang-orang yang membantu agama-Nya, dan akan memberikan kehidupan yang baik kepada mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Tuhan kita, Yang tidak pernah mengingkari ucapan-Nya, menyatakan seba­gai berikut:

“Ketika orang-orang yang bertakwa ditanya, ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhan­mu?’ Mereka menjawab, ‘Kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapatkan yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertak­wa.” (Q.s. an-Nahl: 30).

Allah memberikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa Dia akan memberikan keberhasilan kepada orang-orang yang menjalankan agama-Nya:

“Adapun orang yang memberikan harta­nya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan mem­benarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Q.s. al-Lail: 5-7).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh rahasia-rahasia ini, orang yang dengan ikhlas berpaling kepada agama Allah berarti telah memilih jalan yang benar sejak permulaan, jalan yang mudah yang akan membawa kepada keberhasilan, yang akan menda­tang­kan manfaat di dunia dan di akhirat. Dalam pada itu bagi orang-orang kafir, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang-orang kafir semen­jak awal telah mengalami kehidupan yang penuh dengan duka cita, kesedihan, dan meng­alami kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Pada saat mereka memutuskan ber­ada dalam kekufuran, mereka telah meng­alami kerugian di dunia dan akhirat. Hal ini dinya­ta­kan dalam ayat-ayat sebagai berikut:
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendus­takan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit.” (Q.s. al-Lail: 8-10).

Allah adalah Pemilik dan Pencipta segala sesuatu. Dengan demikian tentu saja sangat penting bagi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon bantuan dan pertolongan-Nya agar Dia memberikan keku­atan. Orang yang menjadikan Allah sebagai penolongnya dan berserah diri sepenuhnya kepada-Nya, hidupnya di dunia dan akhirat akan dipenuhi rahmat dan karunia, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencelakakan diri­nya. Ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu, setiap orang yang memahami kebenaran dan memiliki hati nurani tentu memahami rahasia-rahasia yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan memilih jalan yang benar dan lurus. Jika orang-orang kafir tidak dapat memahami fakta-fakta yang sangat jelas ini, tentu saja hal ini juga meru­pakan rahasia tersendiri. Betapapun mereka sangat cerdas dan berpendidikan, akal mereka tidak mereka gunakan sehingga mereka tidak dapat memahami dan melihat fakta-fakta tersebut. 

 add me di facebook.com  http://www.facebook.com/semfirdaus

Sumber : harun yahya

SALING BERDEBAT MENYEBABKAN HILANGNYA KEKUATAN


http://www.facebook.com/semfirdaus
Salah satu rahasia penting dari Allah yang diungkapkan kepada orang-orang beriman adalah supaya tidak berdebat. Jika saling ber­debat, kekuatan mereka akan hilang dan hati mereka akan menjadi lemah. Adapun ayat yang membicarakan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan saling berdebat, yang menye­babkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. al-Anfal: 46).

Akhlak Qur’ani bercirikan kerendahan hati. Orang-orang yang berpegang pada nilai-nilai akhlak dalam al-Qur’an menghindari pertengkaran, mencari jalan keluar dari masa­lah, memberikan kemudahan kepada orang, dan tidak menunjukkan ketamakan. Tanpa berpegang pada akhlak Qur’ani, pertikaian dan konflik tidak dapat dielakkan. Adalah hal yang sangat wajar jika setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Misalnya, 20 orang dapat mengusulkan 20 pemecahan yang berbeda-beda. Masing-masing pemecahan mungkin saja cocok bagi atau benar bagi orang yang bersangkutan. Jika setiap orang bersiku­kuh bahwa usulannya yang benar, dapat dipas­tikan yang terjadi adalah kekacauan dan konflik. Dalam kasus seperti ini, jika tidak terwujud kesepakatan dari 20 orang tersebut, maka yang terjadi adalah pertengkaran dan ambisi pribadi, yang dapat menghapuskan amal saleh yang telah dilakukan untuk men­cari ridha Allah. Akibatnya, seluruh kekuatan dari 20 orang tersebut akan hilang, persatuan dan persaudaraan di antara mereka akan lemah.
Orang-orang yang beriman harus saling mencintai satu sama lain, berkorban dan mempererat kesetia-kawanan dan kerja sama di antara mereka. Terutama pada saat-saat menghadapi kesulitan, mereka harus menyi­bukkan diri mengingat Allah, lebih bersabar dan saling membantu. Saling berdebat dapat mengu­rangi kekuatan, sedangkan kerja sama dapat meningkatkan kekuatan di antara orang-orang beriman. Dalam ayat lainnya, Allah telah mengungkapkan rahasia bahwa jika orang-orang beriman tidak menjadi teman dan pelindung satu sama lain, maka akan ter­jadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi:

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan yang besar.” (Q.s. al-Anfal: 73).

Masing-masing dari rahasia Allah tersebut telah diungkapkan, dan orang-orang Muslim dibebani tanggung jawab. Orang Muslim tidak boleh menganggap bahwa pertengkaran dengan sesama Muslim merupakan hal yang remeh, dengan mengatakan, “Bagaimanakah jika kita berdebat?” Karena, sebagaimana telah diberitahukan oleh Allah kepada kita, setiap pertengkaran antara orang-orang Mus­lim, artinya menghilangkan kekuatan orang-orang beriman, terhadap hal ini, orang-orang Muslim akan dimintai tanggung jawab oleh Allah. Itulah sebabnya Nabi kita tercinta saw. bersabda, “Takutlah kepada Allah, berda­mailah sesama kamu agar Allah men­cipta­kan perdamai­an sesama Muslim.”1
Orang-orang Muslim jangan sampai saling melihat kesalahan atau kekurangan masing-masing, tetapi sebaliknya supaya menutupi kesalahan sesama Muslim yang lain dengan penuh kasih sayang. Kekuatan orang-orang beriman berasal dari persatuan ini, artinya mengerahkan segenap tenaganya untuk mendakwahkan agama Allah dan akhlak al-Qur’an. Dengan persatuan, mereka dapat berkonsentrasi untuk menyampaikan tanda-tanda keberadaan Allah melalui karya-karya ilmiah dan melakukan pelayanan yang bermanfaat bagi umat manusia. Namun, kita harus ingat bahwa setiap orang yang melaku­kan pelayanan ini harus diniatkan terutama untuk mencari kehidupan yang abadi di akhirat dan agar diselamatkan dari azab Allah.

KEHIDUPAN DUNIA INI SANGAT SINGKAT


Sebagian besar manusia sangat mencintai dunia ini seakan-akan mereka tidak akan per­nah mati, sehingga mereka menjauhi kehi­dup­an agama, tidak ingat mati dan akhirat. Padahal, kehidupan dunia yang sangat mereka cintai ini sesungguhnya sangatlah singkat dan sementara. Bahkan orang-orang yang umur­nya sangat panjang pada suatu saat pasti akan menghadapi kematian. Di samping itu, kehi­dupan dunia ini sesungguhnya tidaklah sebagaimana yang tampak. Allah mengung­kapkan rahasia ini kepada manusia dalam beberapa ayat al-Qur’an:

“Allah bertanya, ‘Berapa tahunkah lama­nya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menja­wab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah berfir­man, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melain­kan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.’ Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.s. al-Mu’minun: 112-15).

“Dan pada hari terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah bahwa mereka tidak berdiam melainkan sesaat, seperti itulah mereka selalu dipalingkan dari kebenaran.” (Q.s. ar-Rum: 55).

Percakapan di atas adalah percakapan antara orang-orang yang dikumpulkan untuk dihisab. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam percakapan tersebut, setelah mati orang-orang menyadari bahwa sesungguhnya mereka tinggal di dunia hanya sebentar. Yaitu, waktu yang tampaknya enam puluh atau tujuh puluh tahun dalam kehidupan dunia ini, sesungguhnya sama singkatnya dengan satu hari, atau bahkan lebih singkat lagi. Hal ini bagaikan kisah seseorang yang menganggap bahwa ia telah menghabiskan beberapa hari, bulan, atau bahkan beberapa tahun dalam mimpinya, tetapi setelah bangun baru menya­dari bahwa mimpi tersebut hanya berlangsung selama beberapa detik.
Dengan bertafakkur, orang akan dapat memahami betapa singkatnya dan betapa sementaranya kehidupan dunia ini. Misalnya, setiap orang membuat rencana yang jelas dan menetapkan beberapa tujuan dalam hidup­nya. Rencana-rencana ini merupakan tujuan yang tidak pernah berakhir. Antara keduanya saling mengikuti. Demikian pula orang yang baru lulus dari SLTA, lalu masuk ke Pergu­ruan Tinggi, lalu bekerja di sebuah perusa­haan. Betapapun, semua ini merupakan pe­nga­laman yang bersifat sementara. Ketika muda, orang hampir-hampir tidak dapat membayangkan ia akan berumur tiga puluh tahun. Tetapi tahu-tahu ia telah berumur empat puluh tahun.
Singkatnya kehidupan dunia ini merupa­kan kepastian dari Allah yang diungkapkan dalam al-Qur’an, yang dapat dipahami oleh siapa pun sebelum mati. Bagi orang yang me­ma­haminya, betapa bodohnya jika ia meng­abai­kan kehidupan yang nyata dan tidak berakhir di akhirat, hanya untuk mengejar kehidupan yang singkat dan sementara ini. Sebagian di antara ayat-ayat, yang di dalam­nya Allah mengingatkan manusia tentang singkatnya kehidupan dunia adalah sebagai berikut:


“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Q.s. Ghafir: 39).

“Sesungguhnya mereka menyukai kehi­dup­an dunia yang sementara dan mereka tidak mempedulikan hari yang berat.” (Q.s. al-Insan: 27).